Menu Close

Konsep Pendidikan di Zaman Nabi

Artikel | Oleh Deny Firmansyah, S.S. | 15/01/2025

Ustadz Dr. Sufyan Baswedan, M.A. pengasuh Pondok Pesantren Ar-Rahman, Solo, Jawa Tengah, menyampaikan beberapa poin penting dalam seminar pendidikan Islam yang diadakan FG Institute di FG Learning Center, Senin 14 Oktober 2024.

Dalam uraiannya beliau mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah panutan kita, terutama dalam profesi at-ta’lim. Dalam Surat Al-Jumu’ah ayat ke-2 disebutkan: “Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelum itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” Syahid dalam ayat ini berbunyi: wayu’allimuhumul kitaba wal hikmah. Yang mengajari mereka al-Kitab dan al-Hikmah.

Menurut Ustadz Sufyan, ada kitab bagus yang secara khusus membahas tema ini. Judulnya: ‘Ar-Rasul Al-Mu’allim wa Asalibuhu fi Ta’lim’ karya Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah. Dalam kitab ini Abu Ghuddah menghimpun hadis-hadis tentang pendidikan di zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Selanjutnya Al-Ustadz menerangkan bahwa pendidikan di zaman Nabi dilakukan tanpa batasan tempat. Rasulullah mengajar, berdakwah dan melakukan amar makruf nahi munkar di mana saja: di masjid, di jalan, di atas kendaraan, di pasar, di tengah perang, di perjalanan, nyaris dalam semua situasi dan keadaan.

Pendidikan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam berjalan terus namun fleksibel. Tidak hanya di waktu-waktu tertentu. Karena tempatnya tidak dibatasi, waktu pun juga. Nabi misalnya, mengingatkan para sahabat agar memuraaja’ah selalu Al Qur`an karena jika ditinggal lama, hafalan itu bisa lepas lebih cepat dari unta yang diikat. Nabi juga menyelang waktu pemberian nasihat agar para sahabat tidak bosan.

Nabi mengembangkan segenap bakat dan skill yang ada pada diri para sahabat sesuai dengan potensi masing-masing. Bakat para sahabat diasah dan diunggulkan oleh beliau. Karena itulah Nabi memiliki sahabat-sahabat yang ahli bidang memanah, menulis, menghafal Al-Qur’an, menghafal hadis. Tidak ada pendidikan yang gagal. Karena definisi gagal di zaman sekarang itu lebih disebabkan keinginan memukul rata kemampuan orang. Yakni semua orang harus menguasai semua hal. Adapun Nabi tidak demikian. Beliau pandai menyingkap qudurat (kelebihan) peserta didik. Gelar-gelar Syaifullah (Pedang Allah) untuk Khalid bin Walid, Asadullah (Singa Allah) untuk Hamzah, Aminu Hadzihi Al Ummah (Kepercayaan Umat Ini) untuk Abu Ubaidah Ibnul Jarrah adalah contoh bagaimana beliau shallallahu alaihi wasallam menyingkap qudurat para sahabat. Nabi adalah sosok pendidik yang pandai ngemong dan mengayomi para sahabatnya.

Beliau shallallahu alaihi wasallam juga menekankan pentingnya baca tulis. Misalnya dalam kisah Perang Badar. Tawanan bisa ditebus selain dengan harta tetapi dengan jasa mengajarkan baca tulis kepada para sahabat Anshar.

Termasuk yang dipentingkan di sini adalah pengajaran bahasa Arab dan bahasa asing. Ayat dan hadis diturunkan dalam bahasa Arab, tujuannya bukan hanya untuk dibaca tapi untuk dipahami. Kata Umar bin Khattab: “Pelajarilah bahasa Arab karena itu bagian dari agama kalian.” Ini adalah satu-satunya bahasa yang akan terjaga. Adapun mempelajari bahasa asing dalilnya adalah hadis Zaid bin Tsabit yang diperintah Rasul untuk belajar bahasa Ibrani. Setengah bulan beliau bisa bahasa Ibrani. Setelah mahir, maka Beliau selalu diminta menulis dan menerjemahkan surat menyurat Nabi dengan orang yahudi.

Beliau selalu memulai penjelasan secara global lalu memerinci. Lihat hadis dari Jundub bin Abdillah (Riwayat Ibnu Majah), yaitu mereka belajar iman dulu baru belajar Al-Qur’an. Iman lebih global dari Al-Qur’an. Bagaimana sesorang bisa menghargai Al-Qur’an jika dia memahami itu bukan kalamullah, hanya makna dari Jibril, dan lain-lain. Bagaimana bisa memuliakan dan tunduk kepada Al-Qur’an kalau banyak kata yang ditakwil. Selanjutnya adalah belajar Al-Qur’an dengan bertahap sambil mengamalkan. Karena sudah belajar Iman, maka belajar Al-Qur’an akan menambah iman.

Adalah majelis Rasulullah itu heterogen sekali. Nabi menyikapi para sahabat sesuai kedudukan mereka masing-masing. Sahl bin Sa’ad meriwayatkan bahwasanya Nabi disodori semangkuk susu, disana ada berbagai macam umur, lalu adabnya adalah mendahulukan sebelah kanan untuk minum dari sebelah kiri yang umurnya lebih tua. maka Nabi meminta izin yang di sebelah kanan agar bisa mendahulukan yang lebih tua yang di sebelah kiri. Ini menunjukkan bahwa yang didahulukan adalah yang sesuai sunnah. Bukan umur, senioritas, dan lain-lain. Peristiwa lainnya adalah saat Fathu Makkah ada perempuan dari Bani Makhzum yang suka mencuri barang. Para pembesar Bani Makhzum meminta tolong Usamah bin Zaid, untuk meminta keringanan kepada Rasulullah. Tapi dimarahi Nabi bahwa itu sudah hukum Allah. Kalau sayang anak, maka tegakkan aturan tegas sesuai syari’at Islam. Ibnu Umar menyampaikan hadis Nabi kepada anaknya. Cemburu sesuai syariat adalah bagian dari kebaikan seorang muslim. Bilal bin Abdullah bin Umar menolak hadis Nabi tentang jangan melarang wanita ke masjid, maka Ibnu Umar memaki anaknya dengan makian yang keras karena menentang hadis Nabi. Memuliakan dan mengagungkan sunnah harus dipraktikkan dengan tegas. Seorang ustadz harus berusaha adil, jangan berlaku zalim di depan muridnya karena ini bisa merusak pendidikan.

Selanjutnya Rasul selalu mengajar dengan penerapan. Jika memerintah atau melarang maka beliau yang mengerjakan lebih dulu.

Demikian beberapa poin penting dari isi seminar Al-Ustadz Sufyan Baswedan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *